Menelisik Fenomena Bunuh Diri dalam Pandang Psikologi dan Sosiologi


Ilustrasi orang depresi sebelum bunuh diri (foto: Canva)

TGXNews.com – Setiap orang pastinya menemui masalah di dalam hidupnya. Masalah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, karena masalah datang secara alami dan tidak dapat diprediksi. Masalah bisa bermacam-macam, mulai dari masalah kecil seperti lupa membawa kunci rumah hingga masalah besar seperti kehilangan pekerjaan.

Masalah menjadi ujian bagi setiap individu untuk menguji kemampuan dalam menghadapi suatu peristiwa yang tidak biasa. Ketika seseorang dihadapkan dengan masalah, ia harus memiliki sikap positif dan berusaha mencari solusi terbaik. Menghindari atau menunda penyelesaian masalah hanya akan memperburuk situasi. Selain itu, melalui pengalaman menghadapi masalah, seseorang dapat belajar banyak hal baru tentang diri mereka sendiri dan dunia sekitarnya.

Namun demikian, masalah yang ada dalam kehidupan kadangkala menemui titik kejenuhan yang mana dapat menggiring seseorang untuk melakukan hal negatif. Kehidupan ini penuh dengan tantangan dan tekanan yang dapat membuat seseorang merasa putus asa dan frustasi. Ketika masalah terus berulang dan tidak ada solusi yang tampaknya, individu mungkin merasa terjebak dalam situasi tersebut.

Kejenuhan merupakan perasaan bosan, lelah, dan tidak bersemangat yang muncul ketika seseorang menghadapi masalah secara berulang. Hal ini adalah momen kritis di mana individu cenderung mencari jalan pintas atau pelarian dari masalah mereka. Sayangnya, beberapa orang memilih untuk melakukan hal-hal negatif sebagai cara untuk melampiaskan kekecewaan mereka.

Salah satu contoh nyata adalah ketika seseorang mengalami tekanan finansial yang berkepanjangan. Mereka mungkin merasa putus asa dan akhirnya mencoba mencuri atau melakukan tindakan kriminal lainnya sebagai solusi instan untuk masalah mereka. Hal ini juga dapat terjadi ketika seseorang menghadapi tekanan emosional seperti depresi atau stres berat.

Salah satu faktor utama seseorang melakukan hal tidak baik dalam menyelesaikan masalah adalah tekanan dan stres. Ketika seseorang menghadapi masalah yang sulit atau menekan, mereka mungkin merasa terjebak dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Hal ini dapat menyebabkan mereka melakukan tindakan yang buruk sebagai bentuk pelampiasan emosi.

Selain itu, kurangnya pemahaman tentang cara mengatasi masalah juga dapat menjadi alasan di balik perilaku buruk seseorang. Jika seseorang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan yang cukup untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang sehat, mereka mungkin cenderung menggunakan metode yang tidak etis atau merugikan orang lain.

Konflik internal dapat timbul dari berbagai faktor seperti trauma masa lalu, perasaan bersalah yang tak teratasi, atau ketidakmampuan untuk mengatasi stres dan tekanan hidup. Individu yang menghadapi konflik internal sering kali merasa terjebak dalam situasi tanpa jalan keluar dan merasakan beban emosional yang berat. Mereka mungkin mencari cara untuk melarikan diri dari rasa sakit tersebut, termasuk dengan bunuh diri.

Berkaca dari kasus bunuh diri akhir-akhir ini yang mana data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri) melaporkan ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Kasus bunuh diri ini sudah melampaui kasus bunuh diri di tahun 2022 lalu.

Era digital ini juga telah membawa perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari kita. Dengan adanya teknologi yang semakin canggih, seseorang dapat dengan mudah mengambil tindakan atas permasalahan yang dihadapinya. Namun, terkadang tindakan tersebut tidak pantas untuk dilakukan, seperti halnya bunuh diri.

Emile Durkheim—seorang sosiolog Prancis abad ke-19—menuliskan tentang teori suicide-nya dalam Suicide: A Study of Sociology (1897). Ia mendefinisikan bahwa bunuh diri sebagai kematian secara langsung atau tidak langsung yang merupakan hasil dari tindakan positif maupun negatif pelaku. Menurutnya, tingkat bunuh diri dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh tingkat integrasi sosial dan regulasi moral.

Durkheim membagi bunuh diri menjadi empat jenis yaitu egoistik, altruistik, anomi, dan fatalistik. Bunuh diri egoistik terjadi ketika individu merasa terisolasi dari masyarakat, sedangkan bunuh diri altruistik terjadi ketika individu merasa terlalu terikat pada kelompok atau agama tertentu. Bunuh diri anomi berkaitan dengan kurangnya aturan dan norma dalam masyarakat; sementara bunuh diri fatalistik berkaitan dengan perasaan putus asa karena adanya kontrol yang berlebihan.

Di sisi lain, Sigmund Freud bapak psikologi abad 20 mengembangkan teorinya yang kita kenal dengan teori psikoanalisis. Ia dalam teori psikoanalisisnya menjelaskan bahwa bunuh diri sebagai konflik internal antara insting kematian (Thanatos) dan insting kehidupan (Eros). Ketika kedua insting ini saling bertentangan atau tidak seimbang, individu dapat mengalami konflik batin yang parah. Menurutnya, individu yang mengalami depresi atau gangguan mental sering kali memiliki dorongan kuat untuk membunuh dirinya sendiri sebagai cara untuk menghentikan penderitaannya.

Meskipun pendekatan mereka berbeda, Durkheim dan Freud setuju bahwa bisa jadi faktor-faktor psikologis dan sosial mempengaruhi keputusan seseorang untuk bunuh diri. Faktor-faktor seperti isolasi sosial, tekanan psikologis yang berat, masalah emosional tertentu dapat menjadi pemicu bagi individu untuk mengambil langkah ekstrem ini.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memperhatikan dan memberikan dukungan kepada individu yang rentan terhadap bunuh diri, baik melalui upaya sosial maupun intervensi psikologis.

Demikian bunuh diri merupakan tindakan yang sangat tragis dan tidak dapat diterima dalam masyarakat. Dalam hal ini era digital juga telah mempengaruhi cara orang berpikir dan bertindak terhadap masalah yang mereka hadapi. Beberapa orang mungkin merasa terjebak dalam situasi sulit dan melihat bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar.

Ada kemungkinan salah satu faktor bunuh diri juga disebabkan oleh banyaknya konten media sosial tentang mental health. Di era digital ini, seseorang sering kali dibandingkan dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di media sosial. Hal ini dapat menyebabkan rasa rendah diri dan depresi yang mendalam.

Namun demikian, ada banyak cara lain untuk mengatasi masalah tanpa harus melakukan tindakan ekstrem seperti bunuh diri. Seseorang bisa saja mengatasi masalah dengan mencari dukungan dari teman atau keluarga. Berbicara dengan seseorang yang dipercaya dan dicintai dapat memberikan rasa lega dan pemahaman emosional. Mereka mungkin memiliki perspektif baru tentang situasi tersebut atau dapat membantu mencari solusi praktis. Demikian bunuh diri bukanlah solusi untuk mengatasi masalah. Ada banyak sekali cara lain yang dapat diambil oleh seseorang dalam situasi sulit.

Artikel Lainnya