Keputusan ini diambil meski korban yang merupakan santriwati telah hamil dan melahirkan seorang bayi.
Keputusan ini diambil karena kasus yang menyeret pimpinan pondok pesantren Desa Sugihan, Kecamatan Kampak itu hanya mengarah pada satu tersangka.
Kasatreskrim Polres Trenggalek, AKP Zainul Abidin, secara tegas menyampaikan bahwa tes DNA dalam kasus ini tidak dibutuhkan karena fungsi tes DNA adalah untuk mencari siapa ayah biologis bayi.
“Dalam konteks ini, tidak perlu tes DNA karena korban telah mengakui bahwa ia hanya melakukan persetubuhan dengan tersangka S,” tandas Abidin.
Abidin juga menerangkan bahwa pengakuan korban sudah menjadi dasar yang kuat bagi pihak kepolisian untuk melanjutkan proses hukum tanpa melalui tes DNA.
Dapat diketahui hingga kini, sudah ada sembilan saksi yang diperiksa terkait kasus ini.
Tersangka S terancam terjerat pasal-pasal dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Sangkaan tersebut lantaran kejadian kekerasan seksual yang dilakukan S berlangsung sejak korban masih di bawah umur.
“Kejadian kekerasan seksual ini terjadi berulang kali, dimulai sejak tahun 2022 hingga 2023. Korban masih anak-anak saat peristiwa ini terjadi dan berlanjut hingga ia dewasa,” papar Abidin.
Meskipun demikian, proses hukum akan tetap dipisahkan sebagaimana petunjuk dari jaksa saat gelar perkara. (Lia)