Ilustrasi Kondisi Ekonomi Warga saat Perekonomian Indonesia Rapuh |
TGX- Kondisi
ekonomi Indonesia pada saat ini dinilai sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya,
kondisi perekonomian Indonesia sedang pada kondisi yang rapuh, terlebih jika
terus berlangsung dalam beberapa waktu kedepan.
Hal ini dikarenakan
kurang massifnya pengelolaan ekonomi Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari
ketergantungan Indonesia pada sumber daya alam (SDA), jumlah pengangguran, dan
utang Indonesia yang kian membengkak.
Ekonom Universitas
Paramadina, Wijayanto Samirin menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia berada
di titik nadir. “Perlu upaya yang luar biasa serius untuk mengeluarkan Indonesia
dari titik nadir,” ujar Wijayanto dalam diskusi virtual bertajuk ‘Koalisi
Besar Bisa Menuju Damagog Otoriter’.
Permasalahan yang
dialami oleh perekonomian Indonesia adalah ketergantungannya dalam melakukan
ekspor SDA. Padahal, negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia,
Vietnam dan Kamboja mulai mendiversifikasi ekspor bahkan mengekspor
produk-produk canggih.
Hal ini tentunya
berbeda dengan yang dilakukan oleh Indonesia yang masih mengekspor bahan
mentah. “Kita justru berjalan mundur, lebih banyak memproduksi
barang-barang mentah, komoditas, sumber daya alam. 38 persen ekspor kita itu
enam komoditas, migas (minyak bumi dan gas, red), CPO (minyak sawit mentah, red),
batu bara, tembaga, dan nikel,” imbuh Wijayanto.
Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada kuartal I-2024 adalah 5,1 persen. Kendati tergolong pada
angka yang tinggi, angka tersebut mayoritas disumbang oleh bulan Ramadan dan
pemilihan umum (Pemilu).
Wijayanto juga
menjelaskan bahwa jumlah pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di
Indonesia masih banyak. “Pendapatan pajak pertambahan nilai (PPN, red) itu
relatif lebih rendah daripada tahun yang lalu,” ungkapnya.
Dirinya juga menilai
bahwa perekonomian Indonesia dapat tumbuh dengan baik karena ada injeksi steroid.
Adapun injeksi steroid yang dimaksud adalah utang yang dimiliki oleh Indonesia.
Menurutnya Indonesia
dapat hidup dengan baik hanya karena tertolong oleh jumlah utang yang
dilakukannya. “Hal ini tidak bisa berlanjut dalam waktu yang lama,” lanjutnya.
Dirinya juga
menyoroti terkait cicilan bunga utang saja 14 persen dari anggaran pendapatan
dan belanja negara alias APBN. “Pengeluaran kita untuk membayar bunga itu
dua kali lebih besar daripada capital expenditure (belanja
modal, red), dan persentase untuk membayar bunga ini akan semakin lama semakin
meningkat,” paparnya.
Di
lain sisi, kedudukan rupiah semakin lama juga semakin melemah. Dalam satu tahun
terakhir, rupiah melemah terhadap 80 persen mata uang dunia. (khr)