Kemarin, pemkab Trenggalek baru saja meluncurkan mobil transportasi wisata untuk liburan nataru, mereka menamainya dengan sebutan mobil TGX-Cikar. Tapi tahukah kamu apa itu cikar?
Cikar merupakan salah satu alat transportasi tradisional khas Indonesia yang memiliki sejarah panjang, terutama di Pulau Sumatra, Jawa, dan Lombok.
Alat transportasi ini dahulu menjadi andalan masyarakat untuk mengangkut hasil bumi maupun barang lainnya. Namun, seiring perkembangan zaman, cikar perlahan tergantikan oleh kendaraan bermotor modern.
Cikar: Dari Kayu Jati ke Roda Karet
Cikar tempo memiliki ciri khas, terutama pada bagian roda. Dahulu, roda cikar terbuat dari kayu jati tua yang dilapisi besi, dengan ukuran diameter mencapai 160 cm.
Jenis kayu ini dikenal kuat dan tahan lama, terutama kayu jati dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti jenis kembang dan doreng.
Kini, roda kayu tersebut sudah jarang dijumpai. Roda-roda modern cikar diganti dengan roda karet yang lebih ringan dan praktis.
Meski demikian, kerangka cikar tetap dibuat dari kayu yang kuat, seperti kayu bengkirai atau jenis kayu lainnya yang memiliki daya tahan tinggi.
Perbedaan Cikar dengan Delman atau Dokar
Berbeda dengan delman atau dokar yang menggunakan tenaga kuda, cikar ditarik oleh dua ekor sapi. Fungsi utamanya adalah sebagai alat angkut barang, khususnya hasil bumi.
Dalam beberapa kasus, cikar juga digunakan untuk mengangkut orang, meski kapasitasnya tidak sebanyak kendaraan modern.
Cikar menjadi pilihan utama di wilayah pedesaan dengan medan terjal atau jalan berbatu yang sulit dilalui kendaraan bermotor. Sapi penarik cikar dikenal memiliki tenaga besar, sehingga mampu membawa beban berat.
Sopir Cikar yang Disebut Bajingan
Uniknya, pengemudi cikar dalam budaya Jawa dikenal dengan sebutan “bajingan.” Kata ini berasal dari istilah tradisional yang merujuk pada sopir atau pengendali cikar.
Sayangnya, dalam perkembangan bahasa, istilah ini mengalami peyorasi (penurunan makna) dan kini sering diartikan secara negatif.
Namun, dalam konteks aslinya, bajingan adalah profesi yang dihormati, karena mereka memiliki keahlian mengendalikan sapi dalam kondisi medan yang sulit.
Manfaat Sapi Penarik Cikar
Selain digunakan untuk menarik cikar, sapi juga memiliki fungsi lain bagi petani. Pada musim penghujan, sapi dimanfaatkan untuk membajak sawah. Sementara itu, di musim kemarau, ketika aktivitas membajak sawah berkurang, sapi-sapi ini dipakai untuk menarik cikar.
Hal ini menjadikan sapi sebagai aset penting bagi petani untuk mendukung kegiatan agraris sekaligus menjadi sumber penghasilan tambahan.
Kehidupan Cikar di Masa Kini
Meskipun kini sulit ditemui, cikar masih digunakan di beberapa daerah pedesaan, terutama untuk transportasi barang di medan yang sulit dijangkau truk atau kendaraan modern.
Keberadaan cikar menjadi pengingat akan tradisi transportasi yang pernah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat agraris di Indonesia.
Cikar bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga warisan budaya yang mencerminkan kearifan lokal dan adaptasi masyarakat terhadap alam.
Melestarikan ingatan tentang cikar berarti menghargai sejarah atas upaya masyarakat tradisional dalam mengatasi tantangan mobilisasi.
Jadi Bajingan itu sebenarnya apa?
Makna kata “bajingan” telah bergeser dari profesi mulia menjadi kata makian. Pergeseran makna ini bisa ditelusuri dari tulisan Multatuli dalam bukunya berjudul Max Havelaar terbitan tahun 1860.
Kata bajingan memiliki beberapa arti, di antaranya:
Profesi pengendali gerobak sapi atau cikar di masyarakat Jawa. Profesi ini sudah ada sejak zaman Mataram Islam atau abad ke-16 Masehi.
Bajingan juga bisa dimaknai sebagai kata makian yang merujuk pada penjahat, pencopet, atau orang yang kurang ajar.
Bajingan bagi masyarakat Temanggung, Jawa Tengah, adalah makanan khas yang terbuat dari singkong atau ketela pohon. Cara membuatnya adalah singkong dipotong, direbus, dan kemudian ditambahkan irisan gula merah dan pandan.
Kata bajingan juga digunakan untuk menyebut ketela yang dimasak dengan menggunakan air nira sisa bajing.