TGXNews.com – Persoalan mengenai kebutuhan umat beragama di Indonesia sudah masuk kedalam ranah kebijakan Negara (Hasyim, 2022). Mengingat, mayoritas masyarakat Indonesia sendiri beragama Islam. Terlebih lagi, jika kita lihat secara empiris, Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduk umat muslim terbesar di dunia. Terkait hal tersebut, perlu di akui bahwa di perlukannya sebuah sebuah lembaga penjamin sertifikasi halal.
Seiring berjalannya waktu pemerintah mengambil alih kebijakan penjamin sertifikasi halal tersebut dengan didirikannya BPJPH (Badan Penyelengrara Jaminan Produk Halal) di bawah Kementrian Agama. Di tambah lagi, BPJPH baru saja menetapkan logo halal yang valid di tingkat nasional yang diatur dalam Peraturan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Hal ini seakan menggambarkan bahwa, pemerintah berupaya untuk menguatkan dan memperluas legalitas stuktural terhadap legitimasi perkara halal di Indonesia yang sebelumnya berjalan dan bersifat kebudayaan syariah (Fikriawan, 2018).
Penggunaan sertifikasi logo halal pada kemasan produk dapat diterima untuk menjamin keamanan suatu produk bagi konsumen muslim, setidaknya di mata masyarakat sebagai konsumen muslim. Maka dari itu, artikel ini menganalisis bagaimana upaya pemerintah di bawah Kementrian Agama dalam mengatasi besarnya biaya yang harus di keluarkan oleh pelaku usaha (utamanya kecil menengah) dengan cara pengambil alihan wewenang penerbitan sertifikasi halal dengan legalitas stuktural BPJPH yang bergerak untuk memperkuat legitimasi ekonomi perkara halal di Indonesia.
Di Negara Indonesia, seperti dilansir Islamic Global Economic Indicators 2017 menunjukan bahwa tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap produk halal sudah mencapai 92,2%, namun hanya 37% dari seluruh produk yang dijual di Indonesia yang bersertifikat halal. Indonesia adalah negara peringkat pertama di dunia untuk konsumerisme makanan halal tertinggi dan peringkat keenam negara dalam hal pengaturan komoditas non-pangan terkait sertifikasi halal mereka melalui lembaga khusus non-pemerintah yang disebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Andoko & Hasibuan, 2022).
Di bawah LPPOM MUI, hanya 41.000 dari 113.000 produk yang sudah terdaftar bersertifikat halal. Karena konsep sukarela yang digunakan oleh sistem sertifikasi halal Indonesia, masih banyak produk yang tidak memiliki label halal. Hal ini karena belum adanya standar dasar yang dikeluarkan pemerintah tentang jaminan kehalalan barang dan adanya ketidakpastian hokum negaras di dalam pendaftaran sertifikasi halal (Agus, 2017).
Terkait hal tersebut, biaya reguler LPPOMMUI sendiri berkisar antara 2,8 juta rupiah hingga 3,7 juta rupiah membuat upaya sertifikasi halal menjadi kurang menarik bagi perusahaan kecil, menengah, atau baru yang berdiri (Fathoni, 2020). Di tambah lagi karena Kementerian Koperasi dan UKM membidangi usaha kecil dan menengah (UKM), LPPOM MUI tidak diwajibkan untuk langsung membantu UKM dalam memperoleh sertifikasi halal.
Akan tetapi, LPPOM MUI mengaku telah bekerjasama dengan beberapa lembaga negara terkait sertifikasi halal di Indonesia, antara lain Kementerian Pertanian (Direktorat Kedokteran Hewan) Kesmas terkait sektor daging dan pangan hewan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk makanan kemasan, dan Kementerian Kesehatan tentang status kehalalan obat-obat yang berkaitan dengan aspek kehalalan (Chairunnisyah, 2017). Akan tetapi faktanya hanya LPPOM MUI saja yang melaksanakan seluruh program sertifikasi halal di Indonesia sebagai ladang bisnis mereka (Jahar & Thalhah, 2017).
Selain itu, manajemen pendapatan dari sertifikasi produk halal LPPOM MUI menjadi salah satu faktor penyebab kontroversi kewenangan. Selama MUI mengurus sertifikasi halal, MUI tidak pernah membeberkan berapa besaran uang yang diperoleh dari pemberian sertifikasi halal.
Saat ini, pendapatan ditempatkan di Kas MUI sebagai penerimaan negara dari sertifikasi halal harus diperhitungkan sebagai sumber bukan pajak. Terkait hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan tidak wajib menyetor uang ke kas negara, karena MUI bukan lembaga negara (Afroniyati, 2014).
Harus ada mekanisme khusus untuk menangani masalah kehalalan produk jika ingin ada jaminan kehalalan yang dikemas dan diperdagangkan di Indonesia. Dalam rangka menetapkan pedoman dan tata cara pemeriksaan dan identifikasi halal pangan, Menteri Agama menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001. Dalam rangka memenuhi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Sertifikasi Halal (Lewoleba, Ramadhani, & Wahyuningsih, 2018).
Untuk mendukung hal tersebut, sejak tahun 2005 Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat Indonesia tentang kepastian hukum produk halal. Pengesahan RUU Jaminan Produk Halal ini terutama dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat muslim Indonesia mengenai kehalalan barang yang beredar di Indonesia (Karimah, 2018).
Setelah di sahkannya RUU No 33 yang Jaminan Produk Halal oleh DPR RI menjadi undang-undang pada Kamis, 25 September 2014, setelah perjuangan panjang untuk menjadikannya undang-undang. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa formal halal, dan DPR serta Pemerintah sepakat bahwa Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berwenang untuk menjamin produk halal (MUI) (Putri, 2021).
Regulasi pelaksanaan jaminan produk halal dalam UU No 33 Tahun 2014 mewajibkan Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Menteri Agama bertugas dan berkedudukan di bawah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang dibentuk untuk melaksanakan Jaminan Produk Halal.
Berikut ini adalah tanggung jawab tambahan yang menjadi tanggung jawab BPJPH dalam hal penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Antara: a) mengembangkan dan menetapkan kebijakan JPH; b) menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; c) penerbitan dan pencabutan Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk; d) pendaftaran Sertifikat Halal Produk Luar Negeri; e) melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; f) melaksanakan akreditasi LPH; g) mendaftarkan Auditor Halal; h) mengawasi JPH; melaksanakan pembinaan Auditor Halal; dan j) berkolaborasi dengan entitas lokal dan internasional di bidang pelaksanaan JPH.
Dalam melaksanakan tugasnya, BPJPH bekerja sama dengan: (a) Kementerian dan/atau lembaga terkait; dan (b) Lembaga Pemeriksa Halal, yaitu lembaga yang melakukan prosedur pemeriksaan dan/atau pengujian untuk menetapkan kehalalan suatu produk. Lembaga Pemeriksa Halal bekerja sama dengan BPJPH untuk menjalankan tanggung jawabnya. Lembaga Pemeriksa Halal yang mempunyai kesempatan yang sama untuk mendukung BPJPH dalam melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian Kehalalan Produk dapat dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat. (c) Majelis Ulama Indonesia bekerja sama dengan BPJPH memiliki tanggung jawab sertifikasi auditor halal, penetapan Produk Halal, dan akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal.
Terkait hal tersebut, jika masyarakat ingin mendirikan LPH, maka pendirian LPH harus diajukan oleh lembaga agama Islam yang berbadan hokum (Karimah, 2018). MUI mengeluarkan keputusan penetapan kehalalan produk untuk menentukan kehalalan suatu produk. Selain itu, mereka akan diinstruksikan untuk bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional dan Komite Akreditasi Nasional bersama dengan BPJPH dan MUI untuk mengakreditasi Lembaga Pemeriksa Halal.
Dengan adanya UU Jaminan Produk Halal, jelaslah bahwa lembaga yang berkuasa sekarang berbeda dengan lembaga yang berkuasa di masa lalu. Sebelum UU Jaminan Produk Halal, ada beberapa organisasi yang memiliki kewenangan untuk menangani masalah halal, antara lain: a) Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang bertugas menerbitkan Sertifikat Halal dan mengeluarkan Fatwa Halal; b) LPPOM MUI yang melakukan penelitian ilmiah tentang kehalalan produk; c) BPOM yang menerbitkan izin Label Halal; dan d) Kementerian Agama yang bertugas merumuskan dengan Kementerian lain yang terkait (Priadi & Nasution, 2022). Dengan lahirnya Undang-Undang ini, kedudukan Majelis Ulama Indonesia sebagai pemegang kewenangan Sertifikasi Halal digantikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama. Sedangkan LPPOM MUI yang dulu bertugas menentukan kehalalan suatu produk digantikan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Majelis Ulama Indonesia dan LPPOM MUI tetap berperan meski berganti kekuasaan. Kewenangan Majelis Ulama Indonesia secara khusus di spesifikan dengan pengaturan halal. Dalam hal mengeluarkan fatwa halal untuk barang-barang yang telah menjalani pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Halal, Majelis Ulama Indonesia tetap memegang kekuasaan. Selain itu, MUI dan BPJPH memiliki kewenangan untuk mengakreditasi Lembaga Pemeriksaan Halal yang akan didirikan dan sertifikasi Halal.
Auditor Lembaga Pemeriksa Halal mencantumkan LPPOM MUI dalam daftar anggotanya. Karena hanya LPPOM MUI yang memiliki kewenangan untuk memverifikasi kehalalan suatu produk di masa lalu (dari perspektif ilmiah), kini LPPOM MUI memiliki tugas tambanhan menyeleksi LPH, dan jika sudah memenuhi prasyarat, bisa dibentuk Lembaga Pemeriksa Halal di kalangan akademik atau lembaga suadanya. Selain itu, sebagai Lembaga Pemeriksa Halal pertama di Indonesia, LPPOM MUI juga bertugas membantu MUI mengakreditasi LPH yang baru didirikan dan mengakreditasi auditor halal yang memenuhi standar.
Dalam upaya memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, keberadaan UU Jaminan Produk Halal sangat strategis penting dari segi sosiologis (produsen dan konsumen). Sangat mudah untuk melayani pelanggan Muslim ketika pengaturan dibuat untuk produk Halal untuk disimpan, didistribusikan, dan disajikan sesuai dengan persyaratan peraturan (Wulandari, 2022).
Toleransi dalam kerangka budaya tradisional Indonesia dan pluralisme dalam budaya bangsa. Budaya awal memproduksi, membeli, dan melanggar hukum tetap akan bertahan. Tanpa perlindungan Indonesia, misalnya, konsumsi zat adiktif dan gelatin bebas secara berlebihan akan tetap ada.
Persyaratan Sertifikasi Halal untuk barang kemasan, yang berlaku untuk semua pelaku bisnis, akan memberikan dampak ekonomi yang positif dengan menciptakan prospek komersial yang jelas dan memastikan bahwa produk yang beredar aman untuk dikonsumsi oleh penduduk Muslim pada khususnya. Hanya saja harus ada transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab yang jelas dalam dana negara yang digunakan untuk Sertifikasi Halal (Kamila, 2021).
Dengan demikian, pengesahan UU Jaminan Produk Halal akan mempercepat tujuan negara mengamankan Indonesia. UU Jaminan Produk Halal yang dilandasi prinsip bahwa stabilitas nasional sangat mahal untuk dipertahankan dalam kehidupan bernegara. Untuk mengoptimalkan produk halal secara maksimal, Indonesia masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen.
Untuk memulainya, pemerintah harus membuat undang-undang dan kebijakan yang mendukung upaya promosi produksi dan konsumsi produk halal. Upaya yang lebih besar perlu dilakukan untuk mempromosikan produk halal di kalangan konsumen dan pelaku usaha oleh pemerintah dan pihak terkait lainnya. Implementasi Jaminan Produk Halal perlu dikawal agar regulasi yang ada dapat diterapkan seefektif mungkin. Pelaku usaha, lembaga pemeriksa halal, serta pelaksanaan sertifikasi dan label halal yang sebenarnya, agar semua tunduk pada pengawasan.**
Penulis: Gerwin Satria Nirbaya
Daftar Rujukan:
- Afroniyati, L. (2014). Analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia. JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik), 18(1), 37-52.
- Agus, P. A. (2017). Kedudukan sertifikasi halal dalam sistem hukum nasional sebagai upaya perlindungan konsumen dalam hukum Islam. Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, 1(1), 149-165.
- Andoko, I. F., & Hasibuan, S. A. (2022). Legalitas Pendafataran Sertifikasiproduk Halal Sebagai Implementasi Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di Indonesia. Journal Analytica Islamica, 11(2), 166-184.
- Chairunnisyah, S. (2017). Peran Majelis Ulama Indonesia Dalam Menerbitkan Sertifikat Halal Pada Produk Makanan Dan Kosmetika. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 3(2).
- Diana Susanti, S. H., & K, M. (2021). Kebijakan Hukum Produk Halal di Indonesia. Sinar Grafika.
- Farhana, A. M. “Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 (UU-JPH)” (Bachelor’s thesis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
- Fathoni, M. A. (2020). Potret Industri Halal Indonesia: Peluang dan Tantangan. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(3), 428-435.
- Jahar, A. S., & Thalhah, T. (2017). Dinamika Sosial Politik Pembentukan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 12(2), 385-404.
- Kamila, E. F. (2021). Peran Industri Halal Dalam Mengdongkrak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Di Era New Normal. LIKUID: Jurnal Ekonomi Industri Halal, 1(1), 33-42.
- Karimah, I. (2018). Perubahan kewenangan lembaga-lembaga yang berwenang dalam proses sertifikasi halal. Journal of Islamic Law Studies, 1(1), 107-131.
- Koeswinarno, K., & Zakiyah, Z. Babi, Anjing, Dan Darah: Konstruksi Kebudayaan Kuliner Non-Halal. Jurnal Sosiologi Agama, 16(1), 17-36.
- Lewoleba, K. K., Ramadhani, D. A., & Wahyuningsih, Y. Y. (2018). Pertanggungjawaban Produk Oleh Pelaku Usaha Terhadap Labelisasi Halal Pada Produk Olahan Impor. Arena Hukum, 11(2), 317-344.
- Mohammad, M. F. M. (2021). The Pengaturan Sertifikasi Jaminan Produk Halal Di Indonesia. Kertha Wicaksana, 15(2), 149-157.
- Priadi, E., & Nasution, I. (2022). Peranan Majelis Ulama Indonesia Dalam Penerapan Syariah Islam Di Indonesia. Khazanah: Journal of Islamic Studies, 75-92. Putri, E. A. (2021). Kewenangan MUI Pasca Terbitnya PP No. 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 201