TGX News – Di abad ke-19, seorang dokter bernama Ignaz Semmelweis menyadari sesuatu yang tidak lazim: tangan dokter yang tidak dicuci dapat menjadi penyebab kematian bagi ibu-ibu paska operasi melahirkan.
Temuannya lahir dari pengamatan di bangsal bersalin. Di situ, angka kematian ibu jauh lebih tinggi di bangsal dokter dibandingkan dengan bidan. Setelah melakukan pengamatan selama berbulan-bulan, ia menyadari sesuatu, menurutnya tangan-tangan dokter telah membawa suatu partikel yang bisa menularkan penyakit.
Perlu diingat, bahwa pada jaman tersebut belum ditemukan konsep tentang kuman, bakteri dan virus. Cairan antiseptik juga belum ditemukan.
Atas kesadaran tersebut, Semmelweis menawarkan solusi sederhana: cuci tangan dengan larutan klorin sebelum dan setelah melakukan operasi, termasuk mencuci peralatan dan kain seprei, bantal dan tirai dengan larutan kaporit tersebut.
Dengan terobosannya tersebut, angka kematian berhasil diturunkan, tapi sekali lagi belum ada penjelasan ilmiah mengenai hal tersebut.
Namun, apakah temuannya diterima begitu saja?
Walaupun telah menerbitkan hasil yang menunjukkan bahwa disinfeksi tangan mengurangi tingkat kematian hingga di bawah 1%, pengamatan Semmelweis bertentangan dengan pendapat medis yang diterima pada saat itu, sehingga komunitas kedokteran menolak gagasan ini.
Semmelweis tidak dapat menjelaskan secara ilmiah mengapa penemuannya bisa menurunkan tingkat kematian, dan beberapa dokter merasa tersinggung dengan usulan agar mereka mencuci tangan terlebih dahulu.
Praktik Semmelweis baru diterima secara luas setelah ia meninggal, terutama setelah Louis Pasteur berhasil membuktikan kebenaran teori kuman dan setelah Joseph Lister melakukan operasi dengan metode higenis dan sangat berhasil.
Cerita ini terasa jauh, tapi sebenarnya punya banyak kesamaan dengan apa yang terjadi hari ini—termasuk dalam rencana pembangunan di Trenggalek.
Net Zero Carbon di Trenggalek
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kabupaten Trenggalek menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045. Dokumen ini adalah cetak biru untuk 20 tahun ke depan. Salah satu hal menarik dalam dokumen ini adalah visinya yang secara eksplisit menyebut “Net Zero Carbon.”
Bagi sebagian orang, gagasan ini terasa besar, bahkan terlalu ambisius untuk daerah kecil. Apakah mungkin Trenggalek yang notabene masih bergantung pada sektor tradisional bisa menjalankan visi ini?
Tidak sedikit pula yang skeptis, bertanya apakah visi ini realistis atau hanya sekadar jargon. Bahkan ada anggapan bahwa Trenggalek masih terlalu hijau sehingga tidak perlu gagasan semacam itu.
Namun, mari kita melihatnya dari sisi lain. Net Zero Carbon bukan sekadar slogan. Dalam teori SMART, visi yang spesifik seperti ini memberikan arah yang jelas.
Lebih baik dibandingkan visi yang menggunakan kata-kata abstrak seperti “meningkatkan kualitas lingkungan,” yang maknanya bisa ditafsirkan terlalu luas.
Dan seperti gagasan Semmelweis, Net Zero Carbon tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan semua masalah secara instan. Ide ini adalah sebuah peta menuju masa depan yang lebih baik—sesuatu yang membutuhkan proses dan penyesuaian.
Menerima Gagasan Baru dengan Terbuka
Setiap gagasan baru selalu menghadapi skeptisisme. Ini adalah respons alami ketika sesuatu yang berbeda dari kebiasaan ditawarkan. Tapi menolak gagasan hanya karena terlihat sulit atau terlalu baru bisa menjadi penghambat kemajuan.
Pelajaran dari Semmelweis mengajarkan bahwa gagasan besar sering kali tampak tidak masuk akal di awal. Namun, mereka yang bersedia mempelajari dan memahami ide tersebut justru bisa menemukan manfaat yang tak terduga.
Trenggalek mungkin tidak bisa langsung mengubah dunia, tapi ide Net Zero Carbon adalah sebuah langkah kecil yang bisa memulai sesuatu yang lebih besar, setidaknya telah turut menjadi bagian dunia dalam menyelesaikan persoalan emisi maupun efek rumah kaca.
Kita tidak perlu langsung setuju, tapi penting untuk memberi ruang bagi gagasan ini berkembang. Toh, gagasan ini akan bisa dilihat hasilnya setelah 20 tahun mendatang, tepatnya tahun 2045.
Pada akhirnya, baik itu Semmelweis di abad ke-19 atau Trenggalek di abad ke-21, menerima gagasan baru adalah tentang keberanian untuk berpikir melampaui kebiasaan.
Dan siapa tahu, apa yang hari ini terlihat sulit bisa menjadi solusi yang kita syukuri di masa depan.